Self-Awareness: Kesadaran Diri yang “Menciptakan” Manusia

Simpanse dan manusia; sangat mirip namun sangat berbeda (The Stem Cellar)

Kemampuan manusia untuk menyadari eksistensinya sendiri menjadi “kesenjangan mutlak” antara kera dan manusia. Jauh lebih besar daripada jarak evolusi antara amuba dan kera. 

Apa yang membuat kita menjadi manusia? Selama ratusan tahun, para filsuf dan intelektual terkenal coba menjawab pertanyaan ini.

Sebagian besar mengatakan kalau manusia telah diberkati oleh akal budi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh hewan lainnya.

Manusia juga memiliki “roh” atau jiwa dengan satu tujuan: untuk menyembah sang pencipta. Setidaknya, itulah yang dipercaya oleh para pemeluk agama Abrahamik.

Sedangkan menurut Charles Darwin, salah satu hal yang membedakan manusia dengan primata lainnya adalah ekspresi.

Ekspresi adalah hal yang membuat manusia terlihat lebih manusiawi. Ekspresi dari tubuh manusia mampu memancarkan rona yang hanya dimiliki oleh kita; manusia.

Seorang ahli ilmu saraf dari University College London, Dr. Stephen Fleming, memiliki pendapat yang sedikit berbeda tentang esensi yang membuat kita menjadi manusia.

Dalam bukunya, Know Thyself, ia menganggap kalau kesadaran diri (Inggris: self awareness) adalah hal yang membedakan kita dengan kebanyakan makhluk hidup lainnya.

Self awareness sendiri adalah kapasitas pikiran yang membuat seseorang mampu mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan orang lain.

Kesadaran diri juga memungkinkan kita untuk menempatkan diri di dalam dimensi waktu. Entah masa lalu, masa kini, atau masa depan.

Namun menurut penelitian ilmiah, kesadaran bukanlah hal eksklusif yang hanya dimiliki oleh manusia atau Homo Sapiens saja. 

Pada tahun 1960-an, seorang psikolog Amerika yang mendalami behavioral neuroscience, Gordon Gallup Jr., melakukan tes mirror self-recognition yang terkenal.

Dalam pandangan Gallup, hanya tiga spesies yang secara konsisten dan meyakinkan menunjukkan kesadaran diri melalui cermin, yakni simpanse, orangutan, dan manusia.

Namun tentu saja dari ketiganya, manusia menjadi makhluk yang paling “menyadari” dirinya sendiri.

Filsuf asal Prancis yang mempopulerkan positivisme pada abad ke-19, Auguste Comte, memiliki pendapat tersendiri mengenai self awareness:

“Individu yang berpikir tidak dapat membelah dirinya menjadi dua—salah satu bagiannya menalar, sementara yang lain melihat. Karena dalam hal ini organ yang diamati dan organ yang mengamati adalah identik, bagaimana mungkin suatu pengamatan dapat dilakukan?”

Dengan kata lain, bagaimana mungkin otak dapat memikirkan pikirannya sendiri?

Setelah Aufklärung atau Abad Pencerahan muncul di Eropa, semua setuju kalau kesadaran diri adalah hal istimewa dan bukan sesuatu yang bisa dipelajari dengan alat-alat sains.

Bahkan, kebanyakan filsuf Barat menggunakan refleksi diri sebagai alat bedah filosofis layaknya matematikawan menggunakan aljabar untuk menguji teori matematika.

Salah satunya adalah René Descartes, yang mengandalkan refleksi diri untuk mencapai kesimpulannya yang terkenal:

“Saya berpikir, maka saya ada. Saya tahu dengan jelas bahwa tidak ada yang dapat dirasakan oleh saya, lebih mudah atau lebih jelas daripada pikiran saya sendiri.”

Descartes menganggap kalau jiwa adalah pusat akal budi yang memerintah tubuh kita untuk bertindak atas nama kita. Tentunya, “jiwa” tidak bisa membelah diri begitu saja.

René Descartes (Wikipedia)

Kita sekarang tahu kalau premis Comte adalah salah. Otak manusia bukanlah organ tunggal yang tak bisa terpisahkan.

Sebaliknya, otak terdiri dari miliaran komponen kecil (neuron) yang bergerak dan berpartisipasi dalam “diagram pengkabelan” dengan kompleksitas yang luar biasa.

Dari interaksi antar sel ini, seluruh kehidupan mental kita—pikiran dan perasaan, harapan, serta impian—berkedip-kedip keluar dan masuk dari eksistensi kita.

Berkat teknologi, kita dapat memperoleh gambaran kasar tentang bagaimana berbagai area otak manusia bekerja bersamaan pada skala wilayah alih-alih sel individu.

Lewat penelitian yang dilakukan oleh Fleming dan timnya, kita tahu kalau beberapa area korteks lebih dekat ke input (seperti mata) dan yang lain jauh ke atas rantai pemrosesan.

Misalnya, beberapa daerah terlibat dalam korteks visual di bagian belakang otak, sementara yang lain terlibat dalam menyimpan dan mengambil ingatan (seperti hippocampus).

Jauh sebelum fakta ini terungkap, filsuf asal Inggris John Stuart Mill sudah memberikan sanggahan terhadap gagasan Comte.

Pada tahun 1865, ia berpendapat kalau kesadaran diri mungkin sangat bergantung pada proses interaksi yang beroperasi dalam otak manusia.

Sekarang, berkat munculnya teknologi pencitraan mutakhir seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI), kita bisa mengetahui hal ini.

Ketika melakukan refleksi diri, jaringan otak tertentu memang berderak ke arah kehidupan.

Kita pun tahu kalau kerusakan pada jaringan yang sama dapat menyebabkan kehancuran. Atau dengan kata lain, gangguan kesadaran diri.

Jika kita tidak begitu akrab dengan kapasitas kesadaran diri sendiri, kita akan terkesima kalau otak manusia mampu melakukan trik sulap yang luar biasa ini.

Bahkan, otak manusia mampu mengubah pikirannya sendiri!

Dalam beberapa dekade terakhir, para ilmuwan telah menunjukkan fakta yang mengejutkan tentang kemampuan otak manusia.

Kita sebenarnya dapat menumbuhkan kembali sel-sel otak sampai mengubah struktur dan fungsi otak dengan cara berpikir.

Ilmu baru ini disebut neuroplastisitas, dan itu menarik perhatian Dalai Lama.

Tentu saja, kesadaran diri tak hanya memungkinkan kita saling memberi tahu orang asing tentang pikiran dan perasaan kita.

Sebaliknya, menjadi sadar diri adalah esensi dari bagaimana kita mengalami dunia sekitar. 

Dalam hal ini kita bisa merenungkan keindahan matahari yang terbenam, bertanya-tanya apakah penglihatan kita kabur, atau bertanya apakah indera kita tertipu oleh ilusi.

Kita tidak hanya dapat membuat keputusan penting seperti mengambil pekerjaan baru atau menikah. Kita juga dapat merenungkan apakah kita membuat pilihan yang baik atau buruk.

Kita tidak hanya dapat mengingat kenangan masa kecil, tetapi juga dapat mempertanyakan apakah ingatan ini mungkin salah atau benar adanya.

Kesadaran diri juga lah yang memungkinkan kita untuk memahami bahwa orang lain memiliki pikiran seperti kita.

Novel sastra tidak akan laku jika manusia kehilangan kemampuan untuk memikirkan pikiran orang lain dan membandingkan pengalaman mereka dengan pengalaman sendiri.

Tanpa kesadaran diri, tidak akan ada pendidikan yang terorganisir. Kita tidak akan tahu siapa yang perlu belajar atau apakah kita memiliki kapasitas untuk mengajar mereka.

Penulis Vladimir Nabokov dengan elegan menangkap gagasan ini, bahwa kesadaran diri adalah katalis untuk perkembangan umat manusia. Ia menjelaskan:

“Menyadari kalau kita sadar akan eksistensi kita. Dengan kata lain, saya tidak hanya mengetahui bahwa saya ada, tetapi juga mengetahui bahwa saya mengetahuinya, maka saya termasuk ke dalam spesies manusia. Sisanya mengikuti—pemikiran kritis, puisi, visi alam semesta. Dalam hal ini, jarak antara kera dan manusia jauh lebih besar daripada jarak antara amuba dan kera.”

Setelah melihat segudang fakta spektakuler di atas, tidak mengherankan kalau menumbuhkan kesadaran diri telah lama dianggap sebagai tujuan yang bijaksana dan mulia.

Bahkan bisa dibilang kalau hal itulah yang membuat manusia menjadi seorang manusia yang seutuhnya.

Dalam dialog Plato, Charmides, Socrates memberi tahu tentang pentingnya kesadaran diri:

"Orang yang bijaksana akan mengetahui dirinya sendiri, dan dapat memeriksa apa yang dia ketahui atau tidak ketahui ... Tidak ada orang lain yang dapat melakukan hal ini."

Ini selaras dengan pemikiran orang Yunani kuno yang terus mendorong sesama untuk mengetahui diri sendiri.

Bahkan tulisan “Gnothi Seauton” atau “Ketahuilah makhluk seperti apa dirimu” terukir jelas di Kuil Delphi.

Bagi mereka, kesadaran diri adalah pekerjaan yang sedang berjalan dan harus terus diperjuangkan. Pandangan ini bertahan dalam tradisi agama di Abad Pertengahan.

Misalnya, St. Aquinas mengatakan bahwa sementara Tuhan mengetahui diri-Nya secara otomatis, manusia perlu meluangkan waktu untuk mengetahui dirinya sendiri.

Untuk mencapainya, Aquinas dan para biarawannya menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung dalam diam.

Mereka percaya bahwa dengan refleksi diri secara bersama-sama, mereka dapat “mendaki” ke arah citra Tuhan.

Bhikkhu Thailand yang sedang berdoa (Pexels)

Gagasan serupa tentang berjuang untuk mencapai kesadaran diri juga terlihat dalam tradisi filsafat Timur seperti Buddhisme.

Mereka sadar kalau tujuan spiritual dari pencerahan adalah untuk melarutkan ego, membawa pengetahuan yang lebih transparan dan langsung dari pikiran kita saat ini.

Pendiri Taoisme, Lao Tzu, menangkap gagasan bahwa memperoleh kesadaran diri adalah salah satu pengejaran tertinggi manusia. Ia menulis:

“Sadar kalau kita tidak tahu adalah yang terbaik; tidak tahu tetapi merasa tahu adalah penyakit.”

Seorang ahli syaraf yang berpusat di Cambridge (UK), Nicholas Humphrey, memiliki pendapat yang lebih mendetail soal fungsi dari kesadaran diri.

Dalam bukunya, Soul Dust: the Magic of Consciousness, Humphrey mengemukakan bahwa kesadaran itu signifikan secara fungsional karena memberi kita kesenangan indrawi—sebuah alasan untuk melanjutkan hidup.

Saat ini, terdapat banyak sekali situs web, blog, dan buku yang mendorong kita untuk "menemukan diri sendiri" dan menjadi lebih sadar diri.

Betul kalau sentimen itu dimaksudkan untuk tujuan yang baik.

Namun sementara kita didesak untuk memiliki kesadaran diri, hanya sedikit pembahasan tentang bagaimana kesadaran diri sebenarnya bekerja.

Hal ini ibarat menyuruh seseorang untuk memperbaiki mobil mereka tanpa mengetahui cara kerja mesin, atau pergi ke gym tanpa mengetahui otot mana yang harus dilatih.

Dengan memahami bagaimana self-awareness bekerja, kita dapat memaksimalkan potensi di dalam diri; baik secara fisik maupun spiritual.

Atau setidaknya, itulah yang dapat membedakan kita dari hewan lainnya.


For further reading:

https://www.npr.org/2020/12/17/947552020/mirror-mirror-on-the-wall-can-you-reveal-an-animals-inner-world-at-all 

https://blogs.scientificamerican.com/brainwaves/does-self-awareness-require-a-complex-brain/ 

https://www.theschooloflife.com/article/know-yourself/

https://plato.stanford.edu/entries/self-consciousness/

https://today.uconn.edu/2018/08/know-thyself-philosophy-self-knowledge/

Komentar

Iklan

Postingan Populer