Kisah Kelam di Balik Album "The Wall"

Cover art The Wall (cutewallpaper.org)


Keterasingan dapat membangun sebuah tembok yang tidak dapat dihancurkan. Itulah pesan utama yang ingin disampaikan oleh Pink Floyd lewat albumnya, "The Wall."

Sebagai makhluk sosial, manusia ditakdirkan untuk berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Bagaimanapun, itulah sifat intrinsik dari manusia; kita harus bersosialisasi dengan manusia lainnya agar menjadi bagian dari unit masyarakat yang utuh. 

Jika manusia tidak melakukannya, maka masyarakat akan kehilangan fungsinya. Sayangnya, tidak semua manusia dapat melakukannya.

Meskipun kita adalah homo socius, ada beberapa orang yang tidak mampu beradaptasi dengan standar sosial yang telah dibuat oleh masyarakat, di mana mereka kesulitan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. 

Dalam beberapa kasus, hal ini mungkin bukan permasalahan biologis semata. Karena sengaja atau tidak, mereka sudah terlebih dulu membangun “tembok sosial” di sekitar mereka.

Singkatnya, itulah premis di balik The Wall, album konseptual buatan band progressive rock asal Inggris, Pink Floyd, yang dirilis pada tahun 1979

Dalam album tersebut, dikisahkan kalau tokoh utama di dalamnya memutuskan untuk mengisolasi diri di balik tembok sosial yang telah ia bangun sedari kecil; bata demi bata sampai akhirnya menunjang tinggi.

Lewat The Wall, pentolan Pink Floyd, yakni Roger Waters, berhasil mengubah kesunyian, kesepian dan kehancuran emosional menjadi sebuah album opera yang sangat kuat dan indah. 

Dalam album ini, Waters menggambarkan karakter fiksinya, seorang bintang rock bernama Pink, sebagai sosok yang mengalami berbagai pengalaman traumatis di sepanjang hidupnya.

Masa Kecil Bocah yang Dipenuhi Pengalaman Traumatis

Sebagai sebuah album konseptual, sudah jelas kalau semua lagu The Wall disusun layaknya sebuah cerita yang dramatis dari awal hingga akhir. 

Album ini sendiri dimulai dengan kilas balik dari kehidupan Pink, di mana dalam lagu pertamanya, In the Flesh?, terungkap kalau ayahnya terbunuh di Perang Dunia II. 

Nantinya, peristiwa ini akan berdampak pada pola asuh yang overprotektif dari ibunya.

Kematian ayahnya dan sikap overprotektif dari ibu yang membesarkannya memberikan Pink kecil “batu bata” pertama untuk membangun tembok sosial di sekitar dirinya, yang dengan jelas digambarkan dalam lagu Another Brick in the Wall, Part 1

Tembok ini pun semakin bertambah tinggi ketika Pink mulai mengenyam pendidikan di bangku sekolah. 

Di sana, Pink mengalami berbagai siksaan dari guru-gurunya yang kejam. Jelas sekali kalau pengalaman tersebut bukanlah situasi yang nyaman bagi jiwa Pink yang sudah terluka sedari awal. 

Nantinya, ingatan traumatis tersebut akan memberinya “batu bata” kedua yang akan digambarkan dalam lagu Another Brick in the Wall, Part 2.

Dari fase ini, kita dapat merasakan kecemasan dan kesepian yang harus dihadapi oleh Pink, di mana semua ingatan traumatis—mulai dari kematian ayahnya, guru-gurunya yang kejam, dan ibunya yang overprotektif—mulai melekat ke dalam jiwanya. 

Sayangnya, Pink tidak menyadari kalau sejak saat itu dia mencoba untuk mencari bentuk cinta dan esensi kehidupan yang palsu. 

Pada saat yang sama, tepatnya ketika ia mencari makna kehidupan, ia mulai lari dan menghindari semua bentuk emosi manusia yang ditemuinya. 

Singkatnya, hal ini adalah perwujudan dari sebuah paradoks yang tumbuh subur di dalam diri banyak orang yang sudah “tertekan” sejak awal kehidupan mereka. 

Lagu berjudul Mother adalah puncak dari fase pertama dalam kisah kehidupan Pink, yang menggambarkan sosok ibu Pink yang overprotektif, bahkan setelah Pink beranjak dewasa dan mulai mencari pasangan hidupnya.

Krisis Eksistensial dan Depresi yang Terus Menghantui

Album ini berlanjut ke trek Empty Spaces, di mana Pink menemukan tambatan hatinya dan akhirnya menikahinya. 

Namun ketika sedang mengadakan tur di Amerika, Pink mengetahui kalau istrinya berselingkuh darinya. Merasa depresi, Pink terus memikirkan istrinya sambil mengurung diri di dalam kamar.

Terlepas dari pernikahannya yang gagal, Pink justru semakin menyakiti dirinya sendiri dengan memohon kepada istrinya agar tidak pergi meninggalkannya (Don't leave me now). 

Depresi, Pink pun memanggil kembali setiap pengalaman traumatis yang pernah ia alami dan menjadikannya “batu bata” terakhir untuk menyelesaikan temboknya (Another Brick in the Wall, Part 3).

Akhirnya, tembok Pink pun berdiri dengan kokoh, di mana lagu Goodbye Cruel World menggambarkan isolasi totalnya dari orang-orang di sekitarnya. 

Namun tidak lama setelah tembok itu selesai, Pink mulai mempertanyakan keputusannya sendiri. 

Mengalami konflik batin, pikiran Pink mulai mengawang-ngawang dan membawanya kembali ke masa Perang Dunia II. 

Ketika manajernya mendobrak kamar hotelnya, Pink ditemukan dalam keadaan overdosis dan tidak sadarkan diri. Seorang dokter pun menyuntik Pink dengan obat (Comfortably Numb) sehingga membuatnya berhalusinasi lagi.

Namun ketika semua halusinasinya menjadi semakin gila dan tak terkontrol, Pink memohon agar semuanya dihentikan (Stop). 

Pink pun tersiksa dengan pikirannya sendiri, sampai hati nuraninya memerintahkannya untuk merobohkan “tembok” yang telah ia bangun seumur hidupnya.

Album ini diakhiri dengan lagu Outside the Wall, yang menandakan kalau Pink mulai kembali berinteraksi dengan dunia di luar temboknya. 

Kisah Pink selesai; dia membangun temboknya, jatuh ke dalam kerusakan moral dan akhirnya menghancurkan penghalang yang telah mengisolasi ini. The Wall berakhir tepat di mana kisah ini dimulai.

Pengalaman Traumatis dan Proses Isolasi Diri dalam The Wall

Karena tumbuh besar dengan “mother issues,” Pink merasakan kehangatan semu dari tembok yang dibuat oleh ibunya untuk melindunginya. 

Setidaknya, itu adalah sebuah kepalsuan yang Pink rasakan sampai ia bertemu dengan istrinya, yang ternyata jauh lebih buruk dari ibunya—ia berselingkuh dari Pink.

Setelah menjalani hubungan yang disfungsional dengan dua wanita yang paling dicintainya, Pink pun mulai merasakan kehampaan eksistensial di dalam hatinya. 

Maka tak ayal jika hal tersebut semakin menumpuk batu bata untuk membangun tembok Pink, yang justru mencegahnya untuk membuat ikatan baru dengan manusia lain, bahkan dengan sosok father figure (managernya) yang sudah lama ia dambakan.

Isolasi sosial dan kondisi emosionalnya menjadi semakin parah ketika Pink jatuh ke dalam titik terendah dalam hidupnya. 

Setiap “batu bata” yang didapatkan oleh Pink sepanjang hidupnya semakin menutupnya dari dunia luar. 

Pada akhirnya, Pink membuat temboknya menjadi begitu tinggi dan kokoh sehingga, bahkan jika mau, dia tidak akan keluar lagi darinya. 

Tumpukan batu bata itu sendiri adalah gambaran metaforis dari berbagai kejadian traumatis yang telah menyakiti jiwa Pink.

Mulai dari masa kecil tanpa sosok ayah, pola asuh ibu yang overprotektif, sistem pendidikan yang rusak, pernikahan yang gagal, sampai obat-obatan yang ia gunakan untuk mencari kebebasan yang semu. 

Pink sendiri adalah karakter yang didasarkan pada kehidupan nyata dari mantan personil Pink Floyd, Syd Barrett, serta ayah Waters yang terbunuh di Perang Dunia II. 

Secara keseluruhan, The Wall adalah sebuah album rock opera yang mengeksplorasi pengabaian dan isolasi, yang dilambangkan oleh dinding putih sebagai sampul albumnya. 

Sama seperti novel Nausea karya Jean-Paul Sartre atau Orang Asing karya Albert Camus, The Wall berhasil menggambarkan penyakit sosial yang diderita oleh kebanyakan orang pada masanya. 

Inilah mengapa The Wall masih menjadi album yang relevan dengan kondisi hari ini, di mana orang-orang merasa terasing karena pandemi COVID-19.

Sepanjang sejarah musik, The Wall menjadi salah satu album yang berhasil melampaui manifestasi artistik sambil menyentuh tema-tema mendalam yang sering kita temui dalam kehidupan nyata. 

The Wall berhasil menggambarkan kondisi setiap manusia modern yang berjuang untuk menemukan makna dari eksistensinya di dunia ini, di mana dalam prosesnya mereka sering kehilangan jati dirinya sendiri.

Lewat The Wall, kita juga menajdi tahu kalau kesepian dan perasaan traumatis yang kita rasakan sejak dini dapat menciptakan sebuah tembok sosial yang, pada akhirnya, akan mengurung kita sampai dewasa. 

Ironisnya, justru lingkungan di sekitar kita—orang-orang terdekat dan paling kita cintai—yang justru telah memberikan “batu bata traumatisuntuk membangun tembok tersebut.

Komentar

Iklan

Postingan Populer