Kierkegaard dan Hidup yang Autentik
Ilustrasi Orang dengan “Double Life” (Unsplash) |
"Semua orang dapat kehilangan diri sejatinya ketika mereka gagal merangkul paradoks kehidupan." Setidaknya, itulah menurut Søren Kierkegaard.
Manusia
adalah satu-satunya spesies di muka Bumi yang diberi akal budi untuk memilih
dan membuat keputusan yang bermakna.
Namun
dalam prosesnya, kita harus melewati jembatan sempit dengan dua sisi jurang
yang membingkai di sepanjang jalan.
Jurang
tersebut adalah yang terbatas (the finite)
dan yang tidak terbatas (the infinite).
Dua
sisi tersebut terus memanggil kita, di mana keduanya dapat menjauhkan kita dari
kehidupan yang sesungguhnya.
Bagi
filsuf Søren Kierkegaard, tugas yang bijaksana namun sulit adalah terus
berjalan di antara dua jurang tersebut.
Dia
menawarkan jalan eksistensialisme yang dapat ditempuh demi menghindari
kepalsuan dalam hidup dan menjadi diri kita yang sebenarnya.
Mengenal Søren Kierkegaard
Søren Kierkegaard (Odyssey) |
Søren
Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf dan teolog yang berasal dari Denmark.
Sebagai pencetus gerakan eksistensialisme, Kierkegaard memiliki peran penting dalam perkembangan filsafat di abad ke-19.
Ia juga membuat banyak analisis tajam tentang kehidupan manusia.
Tak
heran kalau dirinya sering dikaitkan dengan filsuf ternama Prancis di abad
ke-20, Albert Camus, yang juga mengkaji masalah serupa.
Meski
pemikiran Camus lebih cenderung pada absurdisme, terdapat beberapa poin yang serupa
dengan eksistensialisme ala Kierkegaard.
Eksistensialisme Kierkegaard
Ilustrasi Eksistensialisme (The New Yorker) |
Perlu diketahui kalau eksistensialisme dapat bersifat ateistik, teologis (teistik), maupun agnostik. Beberapa filsuf eksistensialis seperti Nietzsche berada di sisi ateistik.
Hal ini dibuktikan dengan ungkapan ikoniknya, “God is dead,” yang menegaskan bahwa
konsep ketuhanan sudah mati.
Sedangkan filsuf lain seperti Kierkegaard lebih dikenal sebagai eksistensialis yang cenderung religius. Namun dirinya bukanlah sosok yang benar-benar “taat.”
Kierkegaard sendiri percaya kalau Kristen bukan sebuah doktrin yang harus diajarkan melainkan kehidupan
yang harus dijalani.
Dia
beranggapan kalau kebanyakan orang Kristen terlalu fokus pada bukti eksternal
tentang eksistensi Tuhan.
Pada
akhirnya, hubungan mereka dengan Tuhan akan terputus sehingga pengalaman sebagai
seorang Kristen sejati pun sirna.
Sekilas,
pemikiran ini mirip dengan pendapat Camus
tentang kebahagiaan:
“Kamu tidak akan pernah bahagia jika
terus mencari apa itu kebahagiaan. Kamu tidak akan pernah hidup jika terus
mencari makna hidup.”
Dalam
tulisannya, ia berpendapat bahwa kita harus memiliki keyakinan total kepada
Tuhan.
Kierkegaard
juga membuat perbedaan mendasar antara keyakinan (belief) dan iman (faith).
Menurutnya, keyakinan adalah kepercayaan pada sesuatu yang didukung oleh bukti.
Oleh
sebab itu, dirinya mengklaim kalau iman kepada Tuhan harus memiliki karakter
yang sama dengan semua keputusan penting yang kita buat dalam hidup.
Mereka
tidak dibuat berdasarkan bukti; mereka adalah pilihan. Keyakinan terhadap agama
adalah komitmen non-rasional yang terlepas dari bukti, argumen, atau alasan
tertentu.
Berangkat
dari hal itu, Kierkegaard pun mengembangkan tiga wilayah eksistensi (spheres of existense) yang menggambarkan
posisi umat manusia (stages on life’s way).
Ketiga
wilayah atau tahapan eksistensi ini dapat dijadikan patokan bagi manusia yang
sedang mencari keaslian di dalam hidupnya, yakni:
- Eksistensi estetis (the aesthetic), sebuah wilayah di mana orientasi hidup hanya terpaku kepada sensasi kesenangan dari objek-objek di sekitarnya. Seperti suka dan tidak suka, senang dan tidak senang, serta puas dan tidak puas.
- Eksistensi etika (the ethical), atau model eksistensi yang bertumpu di atas anjuran-anjuran moral. Dalam tahapan ini, kita berada di dalam pilihan boleh atau tidak boleh, pantas atau tidak pantas, dan layak atau tidak layak. Level ini menjadi tahapan refleksi dari akal budi manusia yang mengikutsertakan komitmen dan tanggung jawab di dalamnya.
- Eksistensi religius (the religious) merupakan puncak dari kedua wilayah atau tingkatan sebelumnya. Dalam wilayah ini, Tuhan menjadi satu-satunya orientasi hidup. Pertimbangan baik dan jahat di tingkatan etik tak lagi menjadi landasan utama untuk bertindak. Sebaliknya, kita akan meletakkan orientasi pribadi di atas kedekatan dengan Tuhan. Dengan kata lain, eksistensi diri yang bergerak atas dorongan pribadi berubah menjadi ketaatan total kepada tujuan Tuhan.
Kierkegaard
menganggap kalau eksistensi religius adalah konsep
manusia ideal baginya.
Dia
bahkan mendefinisikanya lewat gambaran kesatria yang pasrah (knight of infinite resignation) dan
kesatria iman (knight of faith).
Contohnya
diambil dari kisah Agamemnon
dan Abraham, dua sosok
ayah yang diminta untuk mengorbankan anak mereka.
Dalam
Iliad,
diceritakan kalau Agamemnon dipaksa untuk memilih putrinya (Iphigenia) atau
rakyatnya.
Pada
akhirnya, ia mengorbankan putrinya agar rakyatnya dapat mencapai medan perang
Troya.
Hal
ini membuatnya menjadi kesatria yang pasrah. Tidak seperti Agamemnon, hal yang
berbeda terjadi pada Abraham.
Dalam
agama Abrahamik, Tuhan memberi tahu Abraham untuk mengorbankan putranya, Ishak
(atau Ismail dalam agama Islam).
Meskipun
menghadapi situasi yang serupa dengan Agamemnon, Abraham memiliki sesuatu yang
tidak dimiliki oleh rekan senasibnya: yaitu iman.
Ketika
Abraham membawa Ishak ke gunung untuk menyembelihnya, ia melakukannya dengan
sukarela tanpa keraguan sedikitpun.
Sesaat
sebelum Abraham memotong leher Ishak, Tuhan mengganti anaknya dengan biri-biri.
Pengorbanan tersebut pun tidak terjadi.
Kierkegaard
mendefinisikan kedua tokoh tersebut sebagai bentuk dari keberanian yang
ekstrem:
- Kesatria iman berani menginvestasikan
semua miliknya kepada sosok yang tidak diketahui (Tuhan).
- Kesatria yang pasrah harus mengambil
beban dunia dan memanggulnya sendirian di pundaknya.
Hal
yang dialami oleh Agamemnon pun mengkerucut pada gagasan bahwa kita hanya akan
menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan.
Namun
seperti yang dijelaskan oleh Kierkegaard, hidup manusia cenderung bergerak ke
arah paradoks. Khususnya ketika kita diarahkan untuk membuat pilihan penting.
Ada
bentrokan antara “hal yang terbatas” dan “hal yang tak terbatas” di dalam
kehidupan kita, di mana dua hal ini dapat menciptakan kecemasan bagi sebagian
orang.
Di
satu sisi kita memiliki waktu hidup yang relatif terbatas. Namun di sisi lain
kita memiliki kemungkinan yang tak terbatas sepanjang hidup.
Ironisnya
hal ini justru sering membuat kita untuk tidak melakukan apa-apa.
Seperti
yang sudah dijelaskan di awal, kita dipaksa untuk berjalan melalui jembatan
yang sempit dengan jurang yang terbatas dan yang tak terbatas di sampingnya.
Namun
dalam eksistensialisme Kierkegaard, manusia dapat memilih berdasarkan
kehendaknya. Dengan begitu, kita pun bisa mendapatkan hidup yang lebih autentik.
Hidup yang Autentik Menurut Kierkegaard
Ilustrasi Bahagia Karena Hidup yang Autentik (Unsplash) |
Kecemasan
adalah bagian dari hidup manusia, dan Kierkegaard paham betul akan hal ini.
Pada
tahun 1843, dia menulis sebuah buku yang berjudul Fear and Trembling. Di dalamnya, ia menceritakan seorang anak
laki-laki yang berjuang melawan kecemasan dan depresi.
Beberapa
kutipan
yang ada di dalamnya cukup relevan dengan “Age
of Anxiety” yang sedang kita alami saat ini. Salah satunya adalah:
“Kecemasan mirip dengan rasa pusing.
Mereka yang menengok ke bawah jurang akan merasa pusing. Tapi, apa alasannya?
Hal itu terjadi karena mereka merasa dirinya jatuh ke dalam jurang, walau
nyatanya mereka tidak harus menengok ke bawah… Oleh karena itu, kecemasan
adalah kebingungan akan kebebasan. Hal ini muncul ketika kita ingin mencari
kebebasan, tetapi melihat ke ‘bawah’ untuk mencarinya.”
Lewat
kutipan ini, Kierkegaard mencoba menjelaskan bagaimana kecemasan dapat
membatasi kita untuk menjadi diri kita yang sebenarnya.
Ketika
merasa cemas, kita seringkali terdiam dan pada akhirnya justru menyiksa diri
sendiri. Ini adalah satu efek buruk dari kecemasan yang berlebihan.
Tak
jarang kalau kebiasaan destruktif itu akan melahirkan kehidupan ganda yang lambat
laun menghancurkan hidup seseorang dan orang-orang di sekitarnya.
Sejujurnya
kita sering menemukannya dalam kehidupan sehari-hari, sesosok orang bermuka dua
atau yang sering disebut Kierkegaard sebagai “double life.”
Hal
itu dapat muncul dari ketidakselarasan antara kehidupan batin dan penampilan
publik.
Dapat
dikatakan kalau kondisi ini adalah kepalsuan yang lahir dari kecemasan ketika menghadapi
pilihan yang tak terbatas.
Maka dari itu, Kierkegaard mengarahkan kita untuk menatap hal yang tak terbatas tersebut agar memahami betapa “pusingnya” memiliki kebebasan.
Ini
selaras dengan pendapat Jean Paul-Sartre, bahwa manusia dikutuk untuk menjadi
bebas sejak dilahirkan.
Dengan
kata lain, manusia akan menjadi dirinya yang autentik ketika berhasil melewati
lorong kebebasan yang berlandaskan konsekuensi.
Manusia
harus belajar cemas agar selalu berhati-hati dalam memaknai kebebasan yang
diberikan.
Kita
harus menyadari kalau diri kita kecil dan tidak berarti. Ingat, kita hanyalah primata
berjalan dengan kumpulan hormon dan sinapsis di tengah alam semesta yang tak berujung.
Namun
kita juga harus menyadari bahwa kita memiliki kemampuan untuk menjangkau masa
depan; bahwa setiap keputusan yang diambil dapat menentukan arah hidup kita.
Merangkul
paradoks dalam kehidupan adalah bentuk dari pendewasaan jiwa dan merupakan
langkah penting untuk menjadi sosok manusia yang autentik.
Seperti
kata Kierkegaard, “Saya akan mengatakan bahwa ini adalah petualangan yang harus
dilalui setiap manusia–untuk belajar dari kecemasan agar tidak mudah hancur
baik karena tidak pernah merasa cemas atau karena tenggelam di dalamnya.”
Kita
semua hidup di dalam kontradiksi. Kebijaksanaan adalah tentang bagaimana kita
dapat menerima hal itu dan menjadi diri kita yang sebenarnya.
Sumber:
https://plato.stanford.edu/entries/kierkegaard/
https://lithub.com/on-kierkegaard-authenticity-and-how-a-person-should-be/
https://www.sparknotes.com/philosophy/feartrembling/summary/
https://www.thoughtgymnasium.com/articles/the-finite-and-infinite-in-kierkegaards-notion-of-selfhood
Komentar
Posting Komentar