Review Novel Mati Bahagia: Sebuah Imaji Kebebasan yang Liar
4 Januari 1960, Albert Camus menghembuskan napas
terakhirnya. Tak ada yang menyangka kalau Camus akan meregang nyawa di dalam
mobil Facel Vega yang dikendarai oleh temannya sendiri, Michel Gallimard.
Jauh sebelum itu, Camus pernah mengatakan kalau
cara paling absurd untuk mati adalah tewas dalam sebuah kecelakaan mobil.
Seperti yang kemudian terungkap, di sore hari yang
indah itu Gallimard tidak ngebut dan jalanan tidak basah sama
sekali.
Ironisnya, atau bahkan bisa dibilang absurd, mobil
Gallimard tiba-tiba keluar jalur, menabrak pohon, lalu membunuh
Camus seketika.
Sebelas tahun setelah kematiannya, tepatnya pada
tahun 1971, novelnya yang berjudul La Mort heureuse atau Mati
Bahagia diterbitkan.
Butuh waktu lama untuk menerbitkan magnum
opus tersebut, mengingat Camus sudah menyelesaikannya ketika ia masih
berusia dua puluh tahunan.
Namun sayang, novel ini tidak setenar Orang Asing
atau esai filsafatnya yang legendaris, Mitos Sisifus.
Dalam Mati Bahagia, Camus sendiri menjelaskan
tentang keinginannya untuk hidup bahagia serta keteguhan untuk terus melakukannya,
sampai akhirnya mendapatkan kematian yang bahagia juga.
Melalui perjalanan hidup seorang pria bernama
Patrice Mersault, Camus seperti sedang menceritakan obsesi romantiknya dengan
pantai, sinar mahahari, dan perempuan dalam novel ini.
Bisa dibilang kalau karakter Mersault di Mati
Bahagia adalah prototipe dari Mersault di Orang Asing, walau kebanyakan
orang sering menganggap sebaliknya.
Bagaimanapun, keduanya sama-sama merangkul
kehidupan yang absurd dengan membunuh seorang pria dengan tangan dingin.
Bedanya, Mersault di Mati Bahagia berhasil lolos
dari hukuman, sedangkan Mersault di Orang Asing diadili di depan khalayak umum
yang membuatnya semakin teralienasi dari masyarakatnya.
Berbeda dengan Orang Asing, Mati Bahagia justru
menampilkan Mersault yang berhasil mendapatkan kebebasan “liar” setelah
membunuh kenalannya, Roland Zagreus, dan mengambil hartanya.
Beberapa hari sebelumnya, Zagreus berbicara panjang
lebar dengan Mersault soal esensi kehidupan. Baginya, hidup hanya butuh
keberanian.
Menurut Zagreus, kemiskinan lah yang membuat
Mersault gelisah.
Mersault mengakatakan,“Aku ingin menikah, bunuh
diri, atau berlangganan L’Illustration. Aku putus asa, intinya.”
“Kau ini miskin, Mersault. Itu saja sudah cukup
untuk menjelaskan kegelisahanmu. Dan yang setengahnya lagi itu ada karena kau
bersedia miskin,” balas Zagreus dengan pasti.
Mereka kemudian melanjutkan perbincangan filosofis
tentang keberanian dalam hidup, bagaimana semuanya bisa didapat dengan tekad
yang kuat.
Pada akhirnya, orang kaya dapat mencapai kebahagian
dengan mudah asal mereka mau, khususnya mereka yang sudah memiliki privilese
tersebut sedari lahir.
Mersault pun mengambil ide ini dengan tanggapan
yang mengejutkan: ia menembak kepala Zagreus lalu membiarkannya mati, sebuah
keinginan yang telah Zagreus impikan sejak kehilangan kedua kakinya.
Selain menjadi alegori dari pemberontakan Camus
terhadap hidup yang begitu-begitu saja (bekerja 8 jam setiap hari) yang dialami
oleh orang miskin, Mati Bahagia juga menggambarkan ketertarikan Camus dengan
perempuan cantik.
Mersault, seperti yang digambarkan, adalah seorang
pria berkulit sawo matang dan berambut ikal dengan tinggi yang ideal.
Dengan fisiknya yang prima itu, tak heran kalau
Mersault sering berkencan dengan banyak perempuan cantik dan berhasil membawa
mereka ke puncak kenikmatan.
Meski terdengar agak sombong, Camus juga dikenal
sebagai sosok “playboy” di sepanjang hidupnya, mirip dengan sosok
Mersault dalam Mati Bahagia.
Di awal cerita, diperlihatkan kalau Mersault
nampaknya sangat tergila-gila dengan Marthe, sesosok perempuan cantik yang
pernah menjadi kekasih Zagreus.
Bahkan, sosok Mersault yang terlihat dingin dan
misterius itu sampai dibuat penasaran ketika Marthe melambai kepada sosok pria
asing, yang ternyata adalah mantannya, di bioskop.
Diketahui kalau Marthe memiliki lebih dari 10
mantan kekasih, di mana Zagreus adalah mantan pertama sekaligus mantan
terindahnya.
Selain kisah kecemburuan tersebut, hal yang tidak
kalah menarik adalah percakapan mereka berdua tentang cinta dan gairah masa
muda.
Menurut Mersault, orang seumuran mereka tidak
pantas saling mencintai.
“Kita hanya saling menggembirakan. Nanti, setelah
kita tua dan lemah, baru kita saling mencintai. Di umur kita saat ini, kita
hanya berpikir kalau kita mencintai. Seperti itulah.”
Setelah membunuh Zagreus, Mersault meninggalkan
Marthe dan Kota Paris, berkelana ke Eropa Tengah lalu menetap di Aljazair.
Di sana, ia bertemu dengan sosok perempuan cantik
berambut pirang bernama Lucienne.
Mersault mungkin terlihat seperti bajingan sejati,
walau pada titik ini ia mulai memahami kalau rasa cintanya dengan Lucienne
sedikit berbeda dengan yang dirasakannya terhadap Marthe.
“Ada sesuatu yang suci dalam kecantikan tanpa
kecendikiaan dan, tentu saja, Mersault kenal benar dengan kecantikan tersebut.”
Terkadang, keinginan untuk menjadi bodoh dapat
membantu kita untuk meraih hidup yang bahagia.
Layaknya seorang seniman yang harus tahu kapan
sebuah pahatan tidak memerlukan sentuhan lagi, seorang yang pandai juga harus
memiliki keinginan untuk menjadi bodoh.
Lagipula, apa yang dicintai Mersault dari Marthe
adalah hasratnya untuk hidup. Hal itulah yang melahirkan perasaan obsesif dalam
diri Mersault, yang akhirnya berujung pada ketidakbahagiaan dalam hidupnya.
Sedangkan dalam diri Lucienne, Mersault merasakan
kepolosannya yang hangat dan suci, yang akhirnya berujung pada pernikahan
mereka. Meskipun begitu, Mersault tetap pergi untuk mencari kebahagiaannya
sendiri.
Tidak adil? Bukan, Camus hanya ingin mengatakan
kalau segala hal yang mengikat di dunia ini, termasuk cinta, harus dilepaskan
untuk mencapai kebahagian yang hakiki.
“Aku tidak ingin dicintai. Cinta dapat mencegahku
meraih kebahagiaan.”
Bagi Mersault, yang terpenting adalah menata hati
agar sesuai dengan irama hari, bukan membentuk irama hari agar sesuai dengan
harapan kita.
Dalam hal ini, Camus seperti menyinggung kita untuk
merendahkan ekspetasi agar sesuai dengan realitas, bukan sebaliknya.
Di akhir cerita, Mersault bisa mencapai kematian
yang bahagia setelah menjalani kehidupan yang bahagia.
Mersault dibuat bahagia melalui kesenangan dan
kenyamanan sensual yang sederhana, di mana penerimaan penuhnya terhadap hal-hal
yang absurd dan sepele juga memberinya kebahagiaan.
Sinar matahari yang hangat, pantai, air laut,
pedesaan yang tenang, kebun anggur, harta melimpah, perempuan cantik nan molek,
semua hanyalah dalih untuk berbahagia.
Esensi dari Mati Bahagia adalah keinginan untuk
berbahagia, itu saja.
“Menjadi bahagia juga bukan masalah lama atau
sebentar. Orang berbahagia atau tidak berbahagia. Kematian tidak menghalangi
apapun—manusia harus mati, tapi itu tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan.”
Mersault adalah gambaran dari kehidupan Camus. Ia
adalah seorang pemberontak yang berani mengambil kebebasan dengan cara yang
liar.
Dengan berani, ia merangkul kehidupan yang absurd
dan menolak untuk bunuh diri, entah itu secara ragawi maupun
filosofis. Karena baginya, hanya ada “mati wajar” dan “mati sadar.”
Hal itu mungkin memang absurd, karena bagaimanapun
Camus menganggap hidup secara absurd dan pada akhirnya mati secara absurd juga.
Camus bisa saja menghindari nasibnya
dengan menaiki kereta bersama istrinya, Francine, dan kedua putrinya.
Namun, Camus menolak. Ia lebih memilih untuk
kembali ke Paris dengan mobil yang dikendarai Gallimard, dan terjadilah
kecelakaan naas tersebut.
Seperti Mersault, Camus sangat paham kalau
ketakutan akan kematian sama seperti ketakutan akan kehidupan.
Menurut pemikiran Camus, kematian hanya datang untuk
menghukum mereka yang tidak pernah menghayati hidup.
Pada akhirnya, kematian datang layaknya pukulan
telak namun lembut; layaknya ucapan terima kasih sekaligus sebuah
pemberontakan.
“Ia kembali dengan hati yang berbahagia, pada
kebenaran dunia-dunia yang tak bergerak.”
Komentar
Posting Komentar