Mitos Sisifus: Bagaimana Mencari Kebahagiaan di Tengah Absurditas Dunia

Ilustrasi hukuman Sisifus dan absurditas duniawi (headtopics.com)
"Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Pada akhirnya, kita harus membayangkan Sisifus bahagia." - Albert Camus
Sepanjang hidup, kita selalu diberi tahu bahwa kita harus menemukan makna di dalam kehidupan. 
Namun, bagaimana jika ternyata tidak ada makna di dalam kehidupan? Apakah itu berarti bahwa hidup kita tidak ada gunanya?
Pada awalnya, saya juga memiliki persepsi kalau semua kehidupan manusia memiliki tujuan, di mana kita harus menemukan dan mengikuti konsekuensinya hingga napas terakhir. 
Kita melihat tujuan hidup kita sebagai takdir kita. Jadi, ada perasaan hampa atau tidak berguna ketika kita tidak berhasil mencapainya. 
Namun kemudian saya berpikir, bagaimana jika tujuan hidup itu tidak benar-benar ada? Bagaimana jika gagasan itu hanya sebuah kepercayaan yang sia-sia belaka? 
Maksudnya, memiliki tujuan yang jelas dalam hidup itu memang terdengar hebat, tetapi apakah itu menjadi sebuah hal yang fatal jika kita tidak berhasil menemukannya? 
Untungnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab oleh buku yang akan diulas di dalam artikel ini. 
Singkatnya, buku yang berjudul Mitos Sisifus ini menjelaskan gagasan tentang bagaimana kehidupan yang benar-benar tidak ada artinya. 
Namun, alih-alih merasa buruk tentangnya, kita harus dapat menerimanya.
Pertama kali diterbitkan pada tahun 1942 dengan judul Le Mythe de Sisyphe, karya dari salah satu penulis terbesar asal Prancis, Albert Camus, Mitos Sisifus dianggap sebagai salah satu karyanya yang paling rumit dan sulit dimengerti dalam sejarah sastra.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, penting untuk diingat baik-baik kalau karya ini bukanlah fiksi. 
Mitos Sisifus adalah salah satu esai filosofis Camus, dan untuk alasan itu banyak yang menganggapnya lebih kompleks daripada novel-novel filsafatnya seperti Mati Bahagia atau Orang Asing. 
Mitos Sisifus sendiri menggali tema “absurditas” sebagai subjek berulang di dalamnya. 
Lebih dari memahaminya sebagai omong kosong belaka, Camus menggambarkannya sebagai salah satu fitur utama dalam kehidupan manusia. 
Kita sendiri akan merasakan absurditas ketika terus memikirkan apa yang kita inginkan dalam hidup atau dengan kata lain apa yang kita harapkan darinya. 
Ingat pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan di awal artikel ini? Ya, semuanya memang harus dimulai dengan pencarian makna yang terus-menerus di dalam hidup kita. 
Di saat kita semakin ngeyel untuk menemukan tujuan hidup, sangat besar kemungkinan kalau kita akan menyadari bahwa kita tidak akan menemukannya di dalam kehidupan ini. 
Namun, jika kita tidak dapat menemukan makna dalam hidup (yaitu, jika kita menyadari tidak ada gunanya apa yang diharapkan oleh standar masyarakat dari kita yang diajarkan kepada kita untuk diikuti), apakah hidup ini tidak layak dijalani lagi? 
Bagi Camus, jawabannya melampaui “ya” dan “tidak.” Menurut Camus, kita masih bisa bahagia bahkan ketika hidup tampak tidak ada artinya.
Dengan syarat, kita dapat menerima fakta kalau hidup itu absurd dan berhenti memusatkan energi kita untuk menemukan sesuatu yang tidak akan pernah kita dapatkan. 
Bagi Camus, kita harus berani menghadapi keabsurdan duniawi. Bagaimanapun, absurditas hidup sendiri sangat berhubungan dengan kontradiksi di dalam kehidupan. 
Bahkan ketika hal ini mungkin terdengar seperti cara hidup yang negatif, Camus tetap yakin kalau hal itu adalah satu-satunya cara bagaimana kita dapat menjalani hidup kita sepenuhnya.
Singkatnya, premis dasar dalam buku ini melibatkan dua aliran pemikiran yang terlibat dalam kesadaran kita sebagai seorang manusia. 
Keduanya tergantung pada pilihan kita. Pilihan pertama adalah ketika kita sadar akan eksistensi Tuhan, lalu menerima iman kepada-Nya sebagai penghubung antara dunia ini dan dunia berikutnya. 
Pilihan ini berhubungan dengan keteraturan hidup. Hal ini konkret, di mana kita harus mengikuti kewajiban untuk beribadan kepada Tuhan yang diyakini. Pilihan lainnya adalah mengakui absurditas kehidupan.
Lalu, apa hubungan semua ini dengan mitos seorang pria yang bernama Sisifus? Di bagian terakhir karyanya ini, Camus membahas mitos Sisifus dalam konteks absurdisme. 
Menurut mitos Yunani Kuno, Sisifus (Sisifos) adalah raja dan pendiri Ephyra (hari ini dikenal sebagai Korintus), sebuah kota yang kuat, baik dalam segi ekonomi maupun dalam politik. 
Namun sayang, dia menjadi terobsesi dengan perasaan ditakuti dan dihormati sebagai seorang pemimpin yang kuat, dan dengan demikian ia menjadi sosok yang kejam dan tidak segan untuk membunuh orang yang tidak bersalah. 
Lewat tindakannya ini, Sisifus telah melanggar Xenia, sebuah istilah yang dipahami sebagai konsep kemurahan hati dan keramahan, sehingga membuat Zeus marah.
Sisifus sendiri tidak pernah puas jika hanya mengikuti perintah dan keinginan para dewa. Jadi, dia terus-menerus menentang mereka. 
Salah satunya adalah ketika Sisifus berhasil menipu sosok Kematian, Thanatos (atau Hades dalam versi lainnya), dan merantainya agar dia terbebas dari kematian. 
Pada titik ini, Sisifus telah melewati batasannya. 
Sebagai hukuman karena keangkuhannya, Sisifus diperintahkan untuk membawa sebuah batu ke puncak gunung. 
Namun ketika dia akan mencapai puncak, batu itu akan menggelinding ke bawah dan dia harus mengulangi tugas itu berulang kali, lagi dan lagi selamanya. 
Bagi Camus, hukuman yang diberikan kepada Sisifus merepresentasikan absurditas kehidupan, dan untuk alasan itu Sisifus dianggap sebagai seorang Pahlawan Absurd (Absurd Hero). 
Menurutnya, Sisifus adalah seorang manusia yang berhasil menjalani hidup sepenuhnya (Sisifus mencoba menipu kematian dan akhirnya dikutuk untuk mengerjakan hukuman yang tidak ada artinya). 
Dalam konteks ini, Camus berfokus pada refleksi Sisifus dan kesadarannya, di mana ia menyadari kalau ia terjebak di dalam sebuah hukuman yang abadi. 
Sisifus terus mendorong batu itu sampai ke puncak, bahkan jika dia tahu itu tidak ada gunanya atau bahwa itu tidak akan mengubah kondisinya. 
Namun, pemahaman tentang tidak bergunanya tugas yang diberikannya adalah apa yang membuat Sisifus menerima kehidupan apa adanya dan, mungkin, ia bahagia dengan hal itu.
Mungkin hal ini terdengar seolah-olah Mitos Sisifus memberitahu kita untuk tidak memperjuangkan apa yang kita inginkan dan hanya menjadi biasa-biasa saja serta puas dengan apa yang kita miliki. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. 
Saya pikir apa yang ingin Camus katakan di sini adalah bahwa tidak apa-apa jika kita tidak menemukan makna hidup yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain kepada kita. 
Pada akhirnya, kita tidak akan pernah cocok dengan mereka dan terkadang ketidakcocokan ini bisa membuat kita merasa tidak berguna. 
Meski begitu, perlu diingat bahwa semua ini adalah tentang mencari kebahagiaan di saat kita tidak dapat menemukan makna atau harapan di dalam kehidupan ini. 
Layaknya karakter Arthur Fleck dalam film “Joker,” kita harus menjadi Pahlawan Absurd dan membuat kebahagiaan versi kita sendiri, walau hal itu tidak sesuai dengan ekspektasi lingkungan kita.
Seperti yang dikatakan Camus di akhir buku ini, “Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Pada akhirnya, kita harus mebayangkan Sisifus bahagia.

Further reading:

Komentar

Iklan

Postingan Populer