Zarathustra, Nietzsche, dan Game of Thrones
Zarathustra (Learn Religions) |
Jauh sebelum COVID-19 merebak menjadi pandemi global, tepatnya ketika saya masih sering berbincang dengan
kawan-kawan tongkrongan, saya sering mendapatkan pertanyaan seperti, “Kenapa
sih, kok lu suka banget nonton Game of Thrones, bahkan terus me-rewatch-nya berkali-kali?”
Sebelum saya
menjawab, mereka langsung menambahkan, “Padahal kan ada serial lain yang lebih seru!”
Pertanyaan ini terlalu sering dilontarkan kepada
saya, sampai-sampai saya pun bingung untuk menjawabnya.
Menurut saya pribadi, apakah
perlu alasan khusus untuk menyukai sesuatu?
Tentu saja, saya juga menonton serial
lain, tetapi Game of Thrones adalah
pengecualian tersendiri bagi saya.
Terlepas dari berbagai ulasan buruk
tentang season finale-nya yang, terus
terang, terburu-buru dan penuh dengan plot
hole, saya masih menempatkan Game of
Thrones sebagai serial favorit saya.
Jawaban yang saya berikan memang tidak
ada hubungannya dengan produksi besar di belakangnya, bagaimana elemen-elemen
fantastik dapat dipadukan dengan kisah epik, atau tentang plot yang dark dan penuh dengan twist di dalamnya.
Apa yang saya puji dari serial ini,
serta novel-novel karya George R. R. Martin yang menjadi sumber Game of Thrones, adalah penggambarannya
yang luar biasa tentang sejarah panjang umat manusia.
Hal ini dapat kita lihat di hampir setiap aspek kehidupan di dalamnya, mulai dari intrik politik
hingga fanatisme agama.
Untuk menjelaskan hal ini, mari kita mulai dari musim pertamanya,
di mana sebagian besar karakter favorit kita dari Westeros (Jon, Ned, Lannisters
dan lainnya) ditampilkan sebagai orang yang menganut politeisme (menyembah
banyak dewa) yang diwakili oleh kepercayaan terhadap Faith of the Seven dan Old Gods.
Namun ketika karakter Stannis Baratheon
muncul di musim kedua, ada agama baru yang muncul. Anehnya, agama ini tidak bersifat politeistik, melainkan monoteistik (menyembah satu dewa).
Singkat cerita, para monoteis ini memuja R'hllor, Lord of Light atau The Fire
God sebagai Tuhan mereka.
Lady Melisandre (Wiki of Thrones) |
Seiring dengan perkembangan cerita, kita juga
menyaksikan kekuatan dan “keberadaan” dari sosok ilahian ini.
Salah satu contohnya
adalah ketika Jon Snow (SPOILER ALERT!)
yang sudah tewas dapat hidup kembali atas “izin” Lord of Light.
Kita juga diperlihatkan tentang bagaimana
tokoh-tokoh di dalam Game of Thrones (Stannis, Beric Dondarrion) perlahan-lahan
berhenti memercayai para dewa lama yang keberadaannya tidak dapat dibuktikan
dan mulai menaruh keyakinan pada Lord of Light.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
Game of Thrones mencerminkan banyak aspek dalam sejarah umat manusia.
Pergeseran
dari politeisme ke monoteisme adalah salah satu elemen penting darinya.
Seperti yang kita ketahui, sebelum agama
monoteistik lahir dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, sebagian besar budaya dan peradaban kuno
meyakini adanya banyak dewa.
Namun setelah agama monoteistik mulai populer dan
menjadi agama-agama dominan di dunia modern, politeisme mulai “tersingkir” secara
perlahan.
Dalam kasus ini, pernahkah kalian bertanya-tanya mengapa hal ini
bisa terjadi?
Zarathustra dan Ajarannya, Zoroastrianisme
Sama seperti Lord of Light dalam Game
of Thrones, diyakini juga kalau agama-agama populer yang hanya menyembah
satu Tuhan sangat dipengaruhi dan diilhami oleh satu nabi dan ajarannya:
Zarathustra dan Zoroastrianisme.
Dikenal sebagai Zoroaster oleh orang
Yunani, atau Zartosht oleh orang Persia, nabi yang hidup sekitar tahun 800 SM.
Banyak sejarawan yang menganggap kalau Zarathustra telah menaruh fondasi bagi agama Abrahamik (Kristen, Yahudi,
dan Islam), dan sebagai konsekuensinya mengilhami banyak pemikir, musisi, artis,
dan berbagai produk budaya populer dalam peradaban modern.
Secara alami, pandangan ini sangat
kontroversial khususnya di antara berbagai kelompok fundamendalis agama.
Meskipun jelas kalau
mereka muncul dari satu konsep dan ide yang kemudian bercabang, tentunya
masing-masing agama mengklaim kalau iman dan ajaran mereka adalah satu-satunya
agama yang valid.
Jadi, tidak sulit untuk melihat respons
defensif dari mereka ketika kita menyebutkan bahwa seorang pria (bukan entitas ilahiah)
lah yang telah mendirikan fondasi bagi keyakinan mereka.
Sayangnya, hanya sedikit
yang kita ketahui tentang kehidupan Zarathustra dan ajarannya.
Oleh sebab itu, beberapa sejarawan percaya kalau Zarathustra
mungkin adalah sekelompok pemikir dan bahwa Zarathustra sendiri hanyalah
nama dari salah satu pemimpin terakhir kelompok ini.
Tempat lahirnya juga
tidak diketahui, sehingga ada perdebatan di antara sejarawan yang mengklaim kalau Zarathustra mungkin lahir di tempat yang sekarang disebut Iran atau Afghanistan.
Apa yang kita ketahui tentangnya hanya
berasal dari papirus dan teks-teks lain yang menyebutkan kalau Zarathustra telah berkhotbah tentang keberadaan dan pemujaan kepada Ahura Mazda, dewa yang
bijaksana dan selalu bertentangan dengan dewa perusak, Angra Mainyu.
Dengan demikian, ada
konsep baik dan jahat, terang dan gelap, kebenaran dan tipu daya di dalam
ajarannya ini.
Reruntuhan Persepolis (Wikipedia) |
Dalam ajarannya, Zarathustra percaya
kalau hanya Ahura Mazda lah sosok Tuhan sejati nan mahabaik yang akan terus
melakukan pertempuran tanpa akhir dengan sosok Angra Mainyu.
Setelah melihat inti pemikirannya, tidak
butuh waktu yang lama bagi ajaran Zarathustra untuk menyebar ke seluruh Kekaisaran Persia.
Sekitar tahun 550 SM, kaisar Persia,
Cyrus yang Agung, menyerbu Kota Babilonia.
Kemenangannya menandai
akhir dari Kekaisaran Neo-Babilonia yang dipimpin oleh Kaisar Nabonidus dan
mengawali era baru dari Kekaisaran Persia (Kekaisaran Akhemeniyah).
Namun yang lebih penting dari hal itu
adalah ketika Cyrus dipuji sebagai orang yang membebaskan orang-orang Ibrani
dari “rantai agama” yang diberikan oleh Nabonidus pada mereka.
Dengan melihat fakta ini, diyakini bahwa selama masa pembebasan Babilonia oleh Cyrus, ajaran Zoroaster telah
tersebar di antara orang-orang Ibrani yang tinggal di sana.
Orang datang dan pergi dari satu negara
ke negara lain, dan gagasan-gagasan ini juga ikut pergi bersama mereka.
Melihat kekuasaan Kekaisaran Persia yang luas pada saat itu, tidak mengejutkan kalau mereka
dapat melakukan dakwah agama ke pelosok-pelosok benua Asia bahkan Eropa Selatan.
Pada saat itu, apa yang dikhotbahkan oleh
seorang Zarathustra mulai diadaptasi dan menjadi awal mula dari apa yang disebut sebagai agama
Abrahamik yang kita kenal hari ini.
Pengaruh Zoroastrianisme dalam Budaya Populer
Kita tahu kalau Zoroastrianisme telah memperkenalkan
beberapa konsep dan figur agama seperti Setan atau Beelzebub, gagasan tentang
Hari Penghakiman, neraka dan surga, malaikat dan setan, dan, tentu saja, janji
dari seorang Mesias.
Lewat ajarannya, Zarathustra tidak hanya merevolusi
bidang keagamaan, tetapi pemikirannya juga mulai diadopsi oleh beberapa filsuf terkenal sepanjang
sejarah.
Salah satunya adalah filsuf terkenal
Jerman yang hidup di abad ke-19, Friedrich Nietzsche. Sudah menjadi rahasia
umum kalau Nietzsche, yang terkenal dengan pemikirannya yang ateistik, justru
sangat dipengaruhi oleh ajaran Zarathustra.
Hal ini sangat terlihat dari salah satu karya
terbesarnya, Thus Spoke Zarathustra (Sabda
Zarathustra). Tak hanya filsuf, para musisi juga
menggunakan Zoroastrianisme sebagai konsep dalam musik mereka.
Salah satunya dan mungkin yang paling terkenal adalah vokalis dan frontman dari Queen, Freddie Mercury.
Terlahir sebagai keturunan Persia, tidak mengherankan jika
Mercury sangat bangga dengan warisan Zoroaster dari leluhurnya.
Kita dapat melihat referensi Zoroaster dalam
salah satu masterpiece-nya, Bohemian Rhapsody, yang menyebutkan “Beelzebub”
dalam liriknya.
Selain memengaruhi Nietzsche dan Mercury, kita juga dapat
melihat unsur Zoroastrianisme dalam budaya populer, seperti dalam pertempuran
antara terang (Jedi) dan gelap (Sith) di dalam Star Wars.
Untuk semua kontribusinya bagi
pemikiran, agama, dan budaya Barat, sayangnya masih sedikit yang kita ketahui
tentang ajaran monoteisme dualistik pertama di dunia serta sosok pendirinya, Zarathustra.
Further reading:
Komentar
Posting Komentar